Pernyataan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) baru-baru ini mengguncang wacana politik Timur Tengah. Dalam sikap yang sangat terang, ia menyampaikan penolakan terhadap legitimasi Hamas dan bahkan menyuarakan dukungan terhadap pelucutan otoritas gerakan tersebut. Langkah ini jelas bukan sekadar pernyataan biasa dalam dinamika regional, tetapi mencerminkan posisi politik yang semakin menjauh dari solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina, dan lebih mendekat pada narasi blok Zionis.
Hamas, yang oleh sebagian besar rakyat Palestina dan simpatisan perlawanan dianggap sebagai simbol perjuangan, kini justru menjadi target kritik dari salah satu negara Arab yang selama ini dianggap bagian dari lingkaran Arab moderat. Dalam berbagai kesempatan, UEA memang kerap menunjukkan pendekatan yang berbeda terhadap isu Palestina, namun sikap terbaru ini menandai babak baru yang lebih konfrontatif terhadap kelompok perlawanan.
Langkah UEA tersebut tentu mengundang pertanyaan: jika bukan kepada pihak yang mempertahankan tanah airnya, lalu kepada siapa UEA memberikan simpati dan legitimasi? Jawabannya mulai terlihat jelas — kepada kubu yang selama ini dikenal sebagai penjajah dan penindas rakyat Palestina. Ketegasan terhadap Hamas dalam konteks ini bukanlah netralitas, melainkan keberpihakan yang tidak lagi ditutupi.
Sebagian pengamat menilai bahwa kebijakan luar negeri UEA sedang digerakkan oleh kepentingan geopolitik yang lebih luas, terutama setelah normalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords. Dalam kesepakatan tersebut, UEA menerima manfaat ekonomi dan pertahanan yang tidak sedikit. Namun, di balik perjanjian itu, tersimpan konsekuensi moral: jarak yang semakin jauh dari semangat perjuangan Palestina.
Tentu saja, UEA berhak memiliki sikap politik yang mandiri. Namun, saat negara tersebut mulai memusuhi kelompok yang dianggap tulang punggung perlawanan, maka garis keberpihakan menjadi jelas. Tidak lagi berdiri di tengah, UEA kini tampak terang berada di sisi yang selama ini menjadi antagonis utama dalam narasi pembebasan Palestina.
Di mata masyarakat Palestina dan pendukung perjuangan mereka di seluruh dunia, tindakan UEA ini semakin menegaskan munculnya poros “Zionis Arab” — istilah yang menggambarkan negara-negara Arab yang tidak lagi melihat penjajahan Israel sebagai masalah utama, tetapi justru menekan pihak-pihak yang berjuang melawannya. Narasi ini menempatkan UEA dalam posisi yang sulit dibantah sebagai bagian dari barisan tersebut.
Perubahan sikap ini pun menjadi pukulan bagi upaya persatuan di dunia Arab yang selama ini digerakkan atas dasar solidaritas terhadap Palestina. Ketika negara-negara seperti UEA mulai menyamakan Hamas dengan sumber masalah, bukan sebagai dampak dari penjajahan, maka wacana perjuangan Palestina menghadapi tantangan dari dalam. Tantangan yang justru datang dari sesama saudara sebangsa dan seiman.
Apa yang terjadi saat ini bukan sekadar pergolakan diplomasi. Ini adalah krisis moral dan ideologis di dunia Arab. Sebab ketika satu per satu negara Arab mulai bergeser dari semangat perlawanan menuju kepentingan pragmatis, maka perjuangan Palestina tidak hanya menghadapi tank dan senapan, tapi juga pengkhianatan diam-diam dari mereka yang dulu berdiri di sisi yang sama.
Pernyataan terbaru Dr. Ghasib Avi Bitzur, Kepala Departemen Keamanan dan Pertahanan Sipil Israel, menyiratkan kekhawatiran mendalam atas perubahan peta kek
Pernyataan terbaru dari Kepala Rosatom, Alexey Likhachev, menunjukkan sikap terbuka Rusia dalam menghadapi isu nuklir Iran yang semakin memanas. Dalam kome
Di tengah situasi politik yang semakin memanas di Israel, ratusan pemukim Haredi—komunitas Yahudi ultra-Ortodoks—menggelar demonstrasi besar dengan memblok
Amerika Serikat telah lama dikenal sebagai sekutu utama Israel, baik dalam hal politik, militer, maupun diplomasi. Namun, posisi Amerika sebagai “penengah”
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang paling sakral dan menjadi hak spiritual seluruh umat Muslim di dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhi