Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang paling sakral dan menjadi hak spiritual seluruh umat Muslim di dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, praktik penyelenggaraan haji oleh rezim Arab Saudi, khususnya keluarga Al-Saud, semakin menuai kritik tajam. Banyak Muslim merasa bahwa perjalanan suci ini kini tidak lagi murni sebagai ibadah universal, melainkan telah menjadi alat kontrol politik dan bisnis yang merugikan jamaah. Pernyataan Sayyid Abdul Malik Badruddin al-Houthi mengenai kesulitan dan peningkatan biaya haji adalah cerminan nyata dari persoalan ini.
Kamal Sharaf, seorang aktivis dan pengamat, memberikan reaksi keras terhadap tindakan Arab Saudi yang mempersulit akses perjalanan haji. Ia menyoroti bagaimana rezim tersebut menjadikan ibadah haji sebagai komoditas yang dikomersialkan, disaring melalui sistem visa yang ketat, serta biaya yang semakin mahal. Padahal, haji seharusnya menjadi ibadah yang dapat dijangkau oleh seluruh Muslim tanpa adanya diskriminasi berdasarkan status sosial atau politik. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: perjalanan menuju Baitullah menjadi panggung eksklusif yang hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu yang memenuhi kriteria elit.
Kamal Sharaf menegaskan bahwa tindakan ini merupakan pengkhianatan terhadap amanah kaum Muslimin sedunia. Menyekat jalan bagi mereka yang ingin menunaikan ibadah suci menunjukkan bagaimana rezim Al-Saud gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan umat Islam. Alih-alih memfasilitasi dan mengayomi, mereka lebih memilih mengeksploitasi ibadah ini demi kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri. Hal ini mencederai makna spiritual dan universal dari ibadah haji yang seharusnya menghubungkan seluruh Muslim dari berbagai belahan dunia tanpa hambatan.
Peningkatan biaya haji juga menjadi masalah besar yang menambah beban jamaah, terutama dari negara-negara miskin. Ketentuan visa yang semakin rumit membuat banyak calon jamaah harus menempuh proses panjang dan mahal hanya untuk mendapatkan izin berangkat. Ini bukan lagi soal ibadah, melainkan tentang bagaimana hak dasar untuk beribadah dijadikan ajang monopoli dan diskriminasi. Kondisi ini menyebabkan kegelisahan dan kemarahan di kalangan umat Muslim yang merasa diabaikan oleh pemegang kekuasaan.
Lebih jauh lagi, penggunaan ibadah haji sebagai alat kontrol politik menambah dimensi problematik lain. Haji yang semestinya menjadi momen persatuan umat kini menjadi medan tarik menarik kepentingan rezim. Politik visa dan pembatasan akses juga dianggap sebagai bentuk dominasi yang menghambat kebebasan beribadah. Semua ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mengedepankan kemudahan dan kesucian dalam menjalankan ibadah.
Kritik dari berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh Islam dan masyarakat luas, semakin menguat untuk menuntut reformasi total dalam sistem penyelenggaraan haji. Mereka menginginkan agar ibadah ini kembali ke tujuan dasarnya: sebagai ajang penguatan keimanan dan persaudaraan umat tanpa ada batasan yang menghalangi. Reformasi tersebut harus mencakup kemudahan akses, pengurangan biaya yang memberatkan, dan penghentian politisasi terhadap ibadah suci.
Pada akhirnya, ibadah haji bukanlah komoditas atau proyek politik yang bisa diperjualbelikan. Ia adalah hak spiritual umat Islam yang harus dijaga dan dihormati oleh siapapun yang memegang amanah. Jika rezim Al-Saud terus melanggengkan praktik penyulit dan penghalang ini, maka mereka telah gagal menjalankan tugas suci mereka dan melukai hati jutaan Muslim yang mendambakan perjalanan spiritual yang murni dan bebas hambatan.
Pernyataan terbaru Dr. Ghasib Avi Bitzur, Kepala Departemen Keamanan dan Pertahanan Sipil Israel, menyiratkan kekhawatiran mendalam atas perubahan peta kek
Pernyataan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) baru-baru ini mengguncang wacana politik Timur Tengah. Dalam sikap yang sangat terang, ia menyampaikan
Pernyataan terbaru dari Kepala Rosatom, Alexey Likhachev, menunjukkan sikap terbuka Rusia dalam menghadapi isu nuklir Iran yang semakin memanas. Dalam kome
Di tengah situasi politik yang semakin memanas di Israel, ratusan pemukim Haredi—komunitas Yahudi ultra-Ortodoks—menggelar demonstrasi besar dengan memblok
Amerika Serikat telah lama dikenal sebagai sekutu utama Israel, baik dalam hal politik, militer, maupun diplomasi. Namun, posisi Amerika sebagai “penengah”