Di tengah kepulan asap dan reruntuhan bangunan, seorang pemuda Palestina dengan suara yang bergetar mengumandangkan kalimat yang mengiris hati: "Labbaikallahumma inna muta‘abun... wa in jā’ūka ba‘īdal-aḍāḥī fa innā ji’nāka bifuldzāti akbādinā." Kalimat yang berarti, "Kami menjawab panggilan-Mu ya Allah, sungguh kami lelah... Jika mereka datang membawa hewan kurban di Idul Adha, maka kami datang kepada-Mu dengan buah hati kami sendiri." Ucapan itu dilontarkan saat ia mengevakuasi jasad para syuhada dan korban luka akibat serangan udara Israel yang kembali menghantam Gaza. Kata-kata itu bukan sekadar ungkapan duka, melainkan jeritan dari lubuk jiwa rakyat yang terus dijajah namun tak pernah kehilangan kehormatan dan iman.
Dalam suasana yang seharusnya menjadi hari raya penuh suka cita, warga Gaza justru merayakan Idul Adha dengan darah dan air mata. Sementara sebagian umat Islam di belahan dunia lain mempersiapkan hewan kurban sebagai bentuk pengabdian, rakyat Palestina mempersembahkan putra-putri mereka—darah daging mereka sendiri—sebagai pengorbanan tertinggi. Tak ada yang lebih suci bagi mereka selain mati dalam perjuangan membela tanah air dan keyakinan. Di balik setiap jenazah yang digotong, ada cinta, ada keberanian, dan ada tekad untuk tetap berdiri meski dunia memalingkan wajah.
Video yang memperlihatkan pemuda tersebut langsung menyebar di berbagai platform media sosial dan mengundang haru luar biasa dari banyak pihak. Namun, haru saja tak cukup. Seruan dan simpati dari kejauhan tak akan mengubah realitas brutal yang dihadapi rakyat Palestina setiap hari. Serangan demi serangan yang dilancarkan Israel terus menelan korban jiwa, menghancurkan rumah-rumah, dan menyisakan trauma berkepanjangan bagi anak-anak yang tumbuh di tengah konflik.
Palestina tidak sekadar berjuang dengan senjata, tapi dengan pengorbanan yang luar biasa. Mereka yang gugur bukan hanya korban, tetapi simbol keteguhan iman dan harga diri. Di saat banyak negara memilih diam dan bermain aman, rakyat Gaza tetap menunjukkan bahwa kehormatan dan tanah air tidak bisa ditukar dengan ketakutan atau kompromi. Ucapan pemuda itu menjadi simbol perlawanan moral yang jauh lebih kuat dari bom atau peluru.
Kita menyaksikan sebuah bangsa yang tidak menyerah meski dunia tak adil kepada mereka. Di Gaza, setiap anak yang syahid, setiap ibu yang kehilangan, dan setiap ayah yang menggali kubur anaknya adalah wajah dari perjuangan sejati. Mereka tak hanya kehilangan, tapi mereka rela kehilangan demi sesuatu yang lebih besar: kehormatan, keadilan, dan keberkahan dari Tuhan.
Idul Adha tahun ini menjadi sangat berbeda di Gaza. Mereka tidak punya kambing atau sapi untuk dikurbankan, tetapi mereka memiliki cinta yang tulus kepada Allah, yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan tertinggi. Gaza telah menunjukkan makna sejati dari labbaik, menjawab panggilan Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga. Ini bukan sekadar kisah duka—ini adalah kisah kemuliaan.
Dunia memang bisa tetap bungkam, bisa menutup mata terhadap penderitaan rakyat Palestina. Namun suara dari reruntuhan Gaza, dari bibir pemuda yang menangis sambil menggendong syuhada, akan terus bergema. Gema takbir mereka bukan hanya seruan ke langit, tapi juga pukulan keras bagi nurani manusia. Dan selama suara itu masih terdengar, tekad Gaza tak akan pernah padam.
Di tengah situasi politik yang semakin memanas di Israel, ratusan pemukim Haredi—komunitas Yahudi ultra-Ortodoks—menggelar demonstrasi besar dengan memblok
Amerika Serikat telah lama dikenal sebagai sekutu utama Israel, baik dalam hal politik, militer, maupun diplomasi. Namun, posisi Amerika sebagai “penengah”
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang paling sakral dan menjadi hak spiritual seluruh umat Muslim di dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhi
Pagi ini, dunia kembali disuguhi satu lagi episode pendudukan brutal yang merampas tanah rakyat Palestina. Pemukim ilegal Israel mendirikan sebuah karavan
Sebuah pemandangan memilukan kembali menghiasi tanah Gaza ketika seorang ibu Palestina terlihat menggendong jenazah putri kecilnya, korban serangan udara y