Di tengah puing-puing yang berserakan dan langit yang masih dipenuhi asap hitam, seorang ayah Palestina berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar, namun suaranya tetap lirih penuh luka. “Aku bersumpah, Nour, perpisahan ini tak tertahankan. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hidup tanpamu,” katanya—sebuah kalimat yang mengguncang siapa pun yang mendengarnya. Kata-kata ini bukan hanya ungkapan duka, tetapi juga potret getir dari penderitaan manusia di Gaza, di mana kehilangan sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari.
Nour, putri kecil yang manis dan penuh harapan, menjadi korban dari serangan udara Israel yang kembali menghujani Jalur Gaza. Dalam sekejap, ia — seperti ribuan anak lainnya — menjadi angka statistik baru dalam laporan konflik yang tak kunjung berakhir. Namun bagi sang ayah, Nour bukanlah sekadar korban. Ia adalah tawa di pagi hari, pelukan hangat setiap malam, dan masa depan yang kini tercerabut begitu saja.
Gaza terus menjadi ladang duka bagi warganya yang tak berdosa. Di balik kabar tentang serangan dan strategi militer, ada manusia-manusia biasa yang setiap harinya harus memilih antara bertahan hidup atau mati dalam kehancuran. Rumah yang sebelumnya menjadi tempat aman kini menjadi target, dan langit yang dulu membawa angin laut kini membawa ledakan yang mematikan. Tidak ada tempat berlindung yang benar-benar aman bagi warga sipil, terlebih anak-anak.
Perpisahan sang ayah kepada Nour adalah cermin dari penderitaan ribuan keluarga lainnya. Di setiap serangan, di setiap korban jiwa, ada kisah cinta, impian, dan harapan yang hancur. Dunia mungkin mencatat peristiwa ini sebagai konflik geopolitik, tetapi bagi para orang tua di Gaza, ini adalah kehilangan yang tidak akan pernah tergantikan. Mereka tidak butuh lagi janji politik atau retorika kosong. Mereka hanya ingin anak-anak mereka hidup dan tumbuh seperti anak-anak di tempat lain.
Ironisnya, tangisan dan ratapan seperti yang diucapkan sang ayah jarang sekali sampai ke meja-meja perundingan internasional. Di sana, hanya angka dan dokumen yang diperhitungkan, bukan air mata atau pelukan terakhir di bawah puing-puing. Kemanusiaan seolah menjadi mata uang murah yang bisa dipertukarkan dengan kepentingan politik dan dominasi kekuasaan.
Dunia seharusnya tidak memalingkan muka dari kisah-kisah seperti ini. Di balik semua narasi besar tentang konflik dan pertahanan diri, ada anak-anak seperti Nour yang hanya ingin bersekolah, bermain, dan mencintai kehidupan. Tidak seharusnya mereka menjadi korban dari perang yang bukan mereka pilih. Ketika seorang ayah bersumpah bahwa ia tidak tahu bagaimana hidup tanpa putrinya, dunia seharusnya tidak menjawabnya dengan diam.
Tragedi seperti ini menuntut lebih dari sekadar empati sesaat. Ia menuntut kesadaran global bahwa tidak ada keadilan tanpa perlindungan terhadap mereka yang paling rentan. Dan mungkin, lewat suara seorang ayah yang patah hati, dunia bisa mulai mendengarkan — bahwa sudah cukup banyak yang gugur, dan bahwa perang ini harus diakhiri demi masa depan yang lebih manusiawi.
Di tengah kehancuran Gaza, di antara reruntuhan yang semakin menumpuk, seorang anak Palestina berdiri di antara puing-puing rumahnya yang hancur. Dengan su
Dalam serangkaian serangan udara yang kembali mengguncang Jalur Gaza, tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan terjadi. Sebuah serangan mematikan yang dil
Gaza kini berada di ambang kehancuran total akibat krisis pangan yang semakin parah, seiring dengan berhentinya operasi Program Pangan Dunia (WFP) di wilay
Media Israel melaporkan insiden serius di Rafah, di mana beberapa tentara Israel dilaporkan tewas setelah serangan yang terjadi di Jalur Gaza. Beberapa ten
Mohammad Abu Husseen, seorang anak Palestina berusia empat tahun, menjadi simbol nyata dari tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung di Jalur Gaza. Boca